Senin, 07 April 2014

nama : neneng melisa
kelas : 2b
tugas : kekerabatan dan kekeluargaan bahasa

Kekerabatan dan Kekeluargaan Bahasa
1.Bahasa
Kridalaksana (1983) dan Djoko Kentjono (1982) memberikan definisi pada sosok bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa diturunkan oleh nenek moyang kita secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain melalui proses yang panjang dan berkesinambungan. Panjangnya proses penurunan bahasa ini menyebabkan proses evolusi bahasa dapat terjadi. Evolusi dalam Cambridge Advance Learner’s Dictionary merujuk kepada proses perubahan dan perkembangan secara beransur-ansur yang terjadi dalam kurun waktu yang lama. Gabungan definisi bahasa dan evolusi ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang yang dinamis dan tidak statis. Selama bahasa tersebut digunakan oleh penuturnya, bahasa akan berkembangan mengikut peredaran masa dan berubah sesuai dengan perubahan masyarakat penutur bahasa tersebut.Perubahan bahasa sebagai fenomena yang bersifat umum dapat diamati melalui perubahan bunyi. Dengan kata lain perubahan ini secara mendasar dapat diamati pada tataran fonologis yang merupakan suatu tataran kebahasaan yang paling mendasar dan penting dalam rangka telaah bidang linguistik bandingan (Fernandez, 1996).
Linguistik Bandingan Historis memiliki fokus untuk menelaah dan menentukan klasifikasi genetis bahasa-bahasa di dunia. Cabang linguistik ini secara umum memiliki dua peran besar yaitu (1) mengelompokkan bahasa-bahasa atas rumpun besar dan kecil dan (2) merekonstruksi satu atau beberapa bahasa purba yang menurunkan bahasa modern. Disamping dua peran besar tersebut, terdapat satu peran tambahan yang dimiliki Linguistik Bandingan Historis yaitu berusaha menemukan tempat asal dan bangsa pemakai bahasa tersebut (Parera, 1991). Dengan hipotesis bahwa semua bahasa-bahasa di dunia memiliki kemungkinan berkerabat, para linguis yang berkecimpung dalam kajian ini melakukan berbagai macam penelitian. Dari beberapa penelitian yang dilakukan seperti yang dilakukan Gonda (1988), Blust (1986), Nothofer (1975) dan Fernandez (1996 dan 1997), ditemukan bahwa beberapa bahasa di dunia memiliki kekerabatan yang sangat erat.
Hubungan kekerabatan bangsa-bangsa ini dapat dibuktikan dengan rekonstruksi unsur-unsur reternsi (kesamaan atau pemertahanan) maupun inovasi (perubahan) dari bahasa asal yang disebut protobahasa baik pada tataran fonologi, leksikon, maupun grammatikalnya. (Masrukhi, 2002). Proto bahasa adalah suatu gagasan teoritis yang dirancang dengan cara sederhana yang dihubungkan dengan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan memanfaatkan sejumlah kaidah (Bynon dalam Masrukhi, 2002). Dengan kata lain, evolusi suatu bahasa dapat dilacak dengan cara membandingkan bentuk terkini bahasa tersebut dengan proto bahasanya, yaitu dengan cara mengamati perubahan pada aspek yang paling sensitif untuk berubah yaitu pada tataran fonologisnya.
Ada dua langkah yang dapat diambil dalam menganalisa perubahan fonologis ini yaitu (1) mencari perangkat kognat (kata asal) untuk mencari hubungan kekerabatan antarbahasa. Pengetahuan tentang perangkat kognat ini bermanfaat besar untuk merunut relevansi historisnya, merumuskan kaidah-kaidah perubahan bunyi bahasa baik itu yang primer ”teratur” maupun yang sekunder ”tidak teratur” serta korespondensi bunyinya dari bahasa-bahasa tersebut, (2) setelah diketahui kaidah korespondensi bunyi atau perubahan bunyi, maka selanjutnya dapat dilakukan pemilihan leksikon bahasa sekarang yang merupakan kelanjutan dari proto bahasanya (Dyen dalam Fernandez, 1996).
Bahasa Madura merupakan anggota rumpun bahasa Austronesia. Sebagai bahasa yang merupakan anggota dari rumpun Austronesia, tentunya bahasa Madura memiliki persamaan maupun perbedaan baik itu dalam bentuk fonologis, leksikon, maupun grammatikalnya. Persamaan yang dimiliki bahasa Madura pastilah disebabkan pewarisan dan retensi unsur protobahasa Austronesia oleh penutur bahasa Madura. Perbedaan yang terjadi disinyalir terjadi karena masuknya berbagai anasir yang memberikan stimulus variasi dan perkembangan bahasa madura. Meskipun mengalami evolusi, perubahan dan persamaan ini tetap dapat dilacak yaitu dengan cara membandingkan fonem bahasa Madura dengan fonem protobahasanya yaitu protobahasa Austronesia. Retensi dan Perbedaan inilah yang akan dibicarakan secara seksama dalam artikel ini.
Secara umum, pembahasan perubahan fonem bahasa Madura dalam artikel ini dipandu oleh tiga pertanyaan besar yang berhubungan dengan perubahan fonem bahasa Madura. Adapun ketiga pertanyaan tersebut antara lain (1) bagaimana sistem fonologi bahasa Madura (2) retensi dan inovasi apakah yang terjadi pada fonem bahasa Madura dan (3) bagaimanakah jejak bahasa protobahasa Austronesia pada bahasa Madura.Berdasarkan tiga rumusan masalah tersebut, maka struktur penulisan artikel ini terbagi menjadi tujuh bagian yaitu (a) pendahuluan (b) rumpun bahasa Austronesia (c) sistem tata suara bahasa Madura  (d) retensi dan inovasi fonem bahasa Madura (e) jejak protobahasa Austronesia pada bahasa Madura (f) simpulan (g) penutup.
2. Rumpun Bahasa Austronesia
Austronesia dalam definisi umumnya mengacu pada suatu daerah yang dimana bahasa-bahasa Austronesia dituturkan. Daerah tersebut mencakup pulau Taiwan, kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti “Kepulauan Selatan” dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti “selatan” dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang berarti “pulau” (www.wikipedia).
Wilhelm von Humboldt (dalam Parera 1991) menunjuk pada kemiripan antara bahasa-bahasa Melayu-Polinesia dan menyebut kemiripan tersebut sebagai rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Nama bahasa Melayu-Polinesia tetap digunakan sampai sekarang oleh beberapa pakar bahasa untuk merujuk pada bahasa-bahasa Austronesia. Penamaan bahasa Melayu-Polinesia kemudian ditolak oleh oleh Peter W. Schimdt (dalam Parera, 1991) pada tahun 1906 dalam bukunya “Die Mon-Khmer Volkerein Bindeglied Zwischen Volkern Zentralasiens und Austronesiens.” Schimdt tidak menerima istilah Melayu-Polinesia karena batas Melayu-Polinesia sangatlah sempit. Di sebelah barat wilayah tersebut masih ada bahasa-bahasa Melagasi dan di sebelah timur masih ada bahasa Maori, Hawai dan Rapuni yang memiliki status serumpun. Dalam bukunya pula, Schimdt menawarkan nama baru penyebutan bahasa yang berada dalam wilayah tersebut sebagai rumpun bahasa Austronesia. Disebut rumpun bahasa, karena banyak kosakatanya memiliki kemiripan baik dalam bentuk maupun artinya (kognat). Kemiripan ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
Bahasa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Proto-Austronesia
*esa/isa
*duSa
*telu
*Sepat
* lima
*enem
*pitu
*walu
*Siwa
*sa-puluq
ita
dusa
celu
sepac
lima
unem
picu
alu
siva
ta-puluq
isá
dalawá
tatló
ápat
limá
ánim
pitó
waló
siyám
sampû
Isa’
rueh
telo
epat
dime
enem
pitu
Balu’
suei
sapuluh
seddi
dua
téllu
eppa
lima
enneng
pitu
aruwa
asera
seppulo
iráy
róa
télo
éfatra
dímy
énina
fíto
válo
sívy
fólo
sa
duwa
lhee
peuet
limöng
nam
tujôh
lapan
sikureueng
plôh
Toba Batak
sada
duwa
tolu
opat
lima
onom
pitu
uwalu
sia
sampulu
sa
dua
telu
empat
lima
enem
pitu
akutus
sia
dasa
esa
due
telu
empat
lime
enem
pitu’
balu’
siwa’
sepulu
Jawa Kuna
sa
rwa
telu
pat
lima
nem
pitu
wwalu
sanga
sapuluh
siji
loro
telu
papat
lima
nem
pitu
wolu
sanga
sepuluh
hiji
dua
tilu
opat
lima
genep
tujuh
dalapan
salapan
sapuluh
settong
dhua
tello’
empa’
léma’
ennem
pétto’
ballu’
sanga’
sapolo
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
ciék
duo
tigo
ampék
limo
anam
tujuah
salapan
sambilan
sapuluah
tahi
rua
toru
ha
rima
ono
hitu
va’u
iva
‘ahuru
`ekahi
`elua
`ekolu
`eha:
`elima
`eono
`ehiku
`ewalu
`eiwa
`umi
issah
duah
talluh
mpat
limah
nnom
pitu’
Walu’
siam
sangpu’











Agak sulit untuk mendefinisikan struktur kekeluargaan dari bahasa-bahasa Austronesia karena rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa-bahasa yang sangat mirip dan berhubungan erat. Selain itu, jumlah bahasa yang termasuk dalam dalam rumpun Austronesia demikian besar sehingga proses pengklasifikasiannyapun demikian rumit. Dyen (dalam Pordjosoedarmo) memperkirakan bahwa jumlah anggota bahasa  Austronesia adalah 1/8 dari jumlah bahasa yang ada di dunia
Ada beberapa perdebatan di atara linguis dalam membagi bahasa Austronesia berdasarkan sub-sub yang lebih kecil. Pandangan kuno yang menggunakan pendekatan geografis membagi bahasa Austronesia ke dalam empat bagian yang lebih kecil yang disebut subrumpun yaitu Polinesia, Mikronesia, Melanesia, dan Indonesia (Anceaux, 1981). Teori ini kemudian dibantah oleh beberapa linguis yang membertimbangkan kondisi bahasa-bahasa Mikronesia yang telah mati sehingga pembagiannyapun tidak empat tetapi dua yaitu Polinesia dan Melanesia saja.  Schmidt,  Kern, (dalam Anceaux, 1981) adalah pendukung teori ini. Pembagian inipun mendapatkan bantahan dari teori linguis lain seperti teori yang diajukan oleh Dempwolf (dalam Poedjosoedarmo) dan Dyen (dalam Anceaux, 1981) yang memasukkan bahasa-bahasa yang ada di Nusantara seperti bahasa Maluku, Irian Jaya, Batak-Toba, Jawa, dan Melayu ke dalam subrumpun ketiga yaitu Indonesia. Dengan lebih detail Dempwolf (ibid) membagi bahasa Austronesia ke dalam tiga subrumpun dengan memasukkan bahasa-bahasa yang menjadi anggota dari subrumpun tersebut sebagai berikut: (1) Indonesia dengan anggotanya yaitu Tagalog, Batak-Toba, Jawa, Melayu, dan Dayak-Ngaju (2) Melanesia dengan anggota Hova (Malagasy), Fiji, dan San’an, dan (3) Polynesia dengan anggota Tonga, Futuna dan Samoa.
Linguis-linguis Indonesiapun tidak mau kalah dengan linguis luar negeri dalam menyumbangkan pemikiran mereka untuk mengkategorikan rumpun bahasa Austonesia ke dalam sub-sub yang lebih kecil seperti yang dilakukan oleh Parera (1991). Parera membagi Rumpun bahasa Austronesia ke dalam dua subrumpun yaitu subrumpun Austronesia Barat dan subrumpun Austronesia Timur. Secara detail pembagian subrumpun dan anggota subrumpun terlihat sebagai berikut:
(a)    Subrumpun Austronesia Barat
  1. Kelompok Malagasi
  2. Kelompok Austronesia Barat Laut dengan anggota: (1) subkelompok Formosa, (2) subkelompok Filipina, (3) subkelompok Chamoro, (4) subkelompok Palau,  (5) subkelomok Sangihe-Talaud, dan (6) subkelompok Minahasa.
  3. Kelompok Austronesia Barat Daya dengan anggota: (1) subkelompok Sumatra, (2) subkelompok Jawa (suku Madura, suku Jawa) (3) suku Borneo, (4) suku Bali-Sasak, (5) suku Gorontalo, (6) suku Tomini, (7) suku Toraja, (8) suku Loinang, (8) suku Banggai, (9) suku Bungku-Mori, (10) suku Sulawesi Selatan, (11) suku Muna-Butung, dan (12) suku Bima-Sumba
(b)   Subrumpun Austronesia Timur
  1. Kelompok Ambon-Timur dengan anggota: (1) suku Sikka-Solor, (2) suku Kedang-  Alor-Pantar, (3) suku Timor Timur, (4) suku Vaikenu, (5) suku Timor Barat, (6) suku Kupang, (8) suku Seram Timur, (9) suku Seram Barat, dan (10) suku Banda
  2. Kelompok Sula-Bacan dengan anggota: (1) suku Taliabu, (2) suku Sanana, dan (3) suku acan-Obi
  3. Kelompok Halmahera Seratan-Irian Barat
Dari pembagian yang dilakukan oleh Parera ini, kita dapat melihat bahwa bahasa Madura merupakan salah satu anggota dari bahasa Austronesia yang bernaung dalam subkelompuk Austronesia Barat Daya. Subkelompok ini merupakan salah satu anggota dari subrumpun Austronesia Barat
Di kutip dari: http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar