nama : neneng melisa
kelas : 2b
tugas : kekerabatan dan kekeluargaan bahasa
Kekerabatan dan Kekeluargaan Bahasa
1.Bahasa
Kridalaksana
(1983) dan Djoko Kentjono (1982) memberikan definisi pada sosok bahasa sebagai
sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok
sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa
diturunkan oleh nenek moyang kita secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi lain melalui proses yang panjang dan berkesinambungan. Panjangnya
proses penurunan bahasa ini menyebabkan proses evolusi bahasa dapat terjadi.
Evolusi dalam Cambridge Advance Learner’s Dictionary merujuk kepada
proses perubahan dan perkembangan secara beransur-ansur yang terjadi dalam
kurun waktu yang lama. Gabungan definisi bahasa dan evolusi ini menunjukkan
bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang yang dinamis dan tidak statis. Selama
bahasa tersebut digunakan oleh penuturnya, bahasa akan berkembangan mengikut
peredaran masa dan berubah sesuai dengan perubahan masyarakat penutur bahasa
tersebut.Perubahan bahasa sebagai fenomena yang bersifat umum dapat diamati
melalui perubahan bunyi. Dengan kata lain perubahan ini secara mendasar dapat
diamati pada tataran fonologis yang merupakan suatu tataran kebahasaan yang
paling mendasar dan penting dalam rangka telaah bidang linguistik bandingan
(Fernandez, 1996).
Linguistik
Bandingan Historis memiliki fokus untuk menelaah dan menentukan klasifikasi
genetis bahasa-bahasa di dunia. Cabang linguistik ini secara umum memiliki dua
peran besar yaitu (1) mengelompokkan bahasa-bahasa atas rumpun besar dan kecil
dan (2) merekonstruksi satu atau beberapa bahasa purba yang menurunkan bahasa
modern. Disamping dua peran besar tersebut, terdapat satu peran tambahan yang
dimiliki Linguistik Bandingan Historis yaitu berusaha menemukan tempat asal dan
bangsa pemakai bahasa tersebut (Parera, 1991). Dengan hipotesis bahwa semua
bahasa-bahasa di dunia memiliki kemungkinan berkerabat, para linguis yang
berkecimpung dalam kajian ini melakukan berbagai macam penelitian. Dari
beberapa penelitian yang dilakukan seperti yang dilakukan Gonda (1988), Blust
(1986), Nothofer (1975) dan Fernandez (1996 dan 1997), ditemukan bahwa beberapa
bahasa di dunia memiliki kekerabatan yang sangat erat.
Hubungan
kekerabatan bangsa-bangsa ini dapat dibuktikan dengan rekonstruksi unsur-unsur
reternsi (kesamaan atau pemertahanan) maupun inovasi (perubahan) dari bahasa
asal yang disebut protobahasa baik pada tataran fonologi, leksikon, maupun grammatikalnya.
(Masrukhi, 2002). Proto bahasa adalah suatu gagasan teoritis yang dirancang
dengan cara sederhana yang dihubungkan dengan sistem-sistem bahasa sekerabat
dengan memanfaatkan sejumlah kaidah (Bynon dalam Masrukhi, 2002). Dengan kata
lain, evolusi suatu bahasa dapat dilacak dengan cara membandingkan bentuk
terkini bahasa tersebut dengan proto bahasanya, yaitu dengan cara mengamati
perubahan pada aspek yang paling sensitif untuk berubah yaitu pada tataran
fonologisnya.
Ada
dua langkah yang dapat diambil dalam menganalisa perubahan fonologis ini yaitu
(1) mencari perangkat kognat (kata asal) untuk mencari hubungan kekerabatan
antarbahasa. Pengetahuan tentang perangkat kognat ini bermanfaat besar untuk
merunut relevansi historisnya, merumuskan kaidah-kaidah perubahan bunyi bahasa
baik itu yang primer ”teratur” maupun yang sekunder ”tidak teratur” serta
korespondensi bunyinya dari bahasa-bahasa tersebut, (2) setelah diketahui
kaidah korespondensi bunyi atau perubahan bunyi, maka selanjutnya dapat dilakukan
pemilihan leksikon bahasa sekarang yang merupakan kelanjutan dari proto
bahasanya (Dyen dalam Fernandez, 1996).
Bahasa
Madura merupakan anggota rumpun bahasa Austronesia. Sebagai bahasa yang
merupakan anggota dari rumpun Austronesia, tentunya bahasa Madura memiliki
persamaan maupun perbedaan baik itu dalam bentuk fonologis, leksikon, maupun
grammatikalnya. Persamaan yang dimiliki bahasa Madura pastilah disebabkan
pewarisan dan retensi unsur protobahasa Austronesia oleh penutur bahasa Madura.
Perbedaan yang terjadi disinyalir terjadi karena masuknya berbagai anasir yang
memberikan stimulus variasi dan perkembangan bahasa madura. Meskipun mengalami
evolusi, perubahan dan persamaan ini tetap dapat dilacak yaitu dengan cara
membandingkan fonem bahasa Madura dengan fonem protobahasanya yaitu protobahasa
Austronesia. Retensi dan Perbedaan inilah yang akan dibicarakan secara seksama
dalam artikel ini.
Secara
umum, pembahasan perubahan fonem bahasa Madura dalam artikel ini dipandu oleh
tiga pertanyaan besar yang berhubungan dengan perubahan fonem bahasa Madura.
Adapun ketiga pertanyaan tersebut antara lain (1) bagaimana sistem fonologi
bahasa Madura (2) retensi dan inovasi apakah yang terjadi pada fonem bahasa
Madura dan (3) bagaimanakah jejak bahasa protobahasa Austronesia pada bahasa
Madura.Berdasarkan tiga rumusan masalah tersebut, maka struktur penulisan
artikel ini terbagi menjadi tujuh bagian yaitu (a) pendahuluan (b) rumpun
bahasa Austronesia (c) sistem tata suara bahasa Madura (d) retensi dan
inovasi fonem bahasa Madura (e) jejak protobahasa Austronesia pada bahasa
Madura (f) simpulan (g) penutup.
2. Rumpun Bahasa Austronesia
Wilhelm von Humboldt (dalam Parera
1991) menunjuk pada kemiripan antara bahasa-bahasa Melayu-Polinesia dan
menyebut kemiripan tersebut sebagai rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Nama bahasa
Melayu-Polinesia tetap digunakan sampai sekarang oleh beberapa pakar bahasa
untuk merujuk pada bahasa-bahasa Austronesia. Penamaan bahasa Melayu-Polinesia
kemudian ditolak oleh oleh Peter W. Schimdt (dalam Parera, 1991) pada tahun
1906 dalam bukunya “Die Mon-Khmer Volkerein Bindeglied Zwischen Volkern
Zentralasiens und Austronesiens.” Schimdt tidak menerima istilah
Melayu-Polinesia karena batas Melayu-Polinesia sangatlah sempit. Di sebelah
barat wilayah tersebut masih ada bahasa-bahasa Melagasi dan di sebelah timur
masih ada bahasa Maori, Hawai dan Rapuni yang memiliki status serumpun. Dalam
bukunya pula, Schimdt menawarkan nama baru penyebutan bahasa yang berada dalam
wilayah tersebut sebagai rumpun bahasa Austronesia. Disebut rumpun bahasa,
karena banyak kosakatanya memiliki kemiripan baik dalam bentuk maupun artinya
(kognat). Kemiripan ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
Bahasa
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
Proto-Austronesia
|
*esa/isa
|
*duSa
|
*telu
|
*Sepat
|
* lima
|
*enem
|
*pitu
|
*walu
|
*Siwa
|
*sa-puluq
|
|
ita
|
dusa
|
celu
|
sepac
|
lima
|
unem
|
picu
|
alu
|
siva
|
ta-puluq
|
|
isá
|
dalawá
|
tatló
|
ápat
|
limá
|
ánim
|
pitó
|
waló
|
siyám
|
sampû
|
|
Isa’
|
rueh
|
telo
|
epat
|
dime
|
enem
|
pitu
|
Balu’
|
suei
|
sapuluh
|
|
seddi
|
dua
|
téllu
|
eppa
|
lima
|
enneng
|
pitu
|
aruwa
|
asera
|
seppulo
|
|
iráy
|
róa
|
télo
|
éfatra
|
dímy
|
énina
|
fíto
|
válo
|
sívy
|
fólo
|
|
sa
|
duwa
|
lhee
|
peuet
|
limöng
|
nam
|
tujôh
|
lapan
|
sikureueng
|
plôh
|
|
sada
|
duwa
|
tolu
|
opat
|
lima
|
onom
|
pitu
|
uwalu
|
sia
|
sampulu
|
|
sa
|
dua
|
telu
|
empat
|
lima
|
enem
|
pitu
|
akutus
|
sia
|
dasa
|
|
esa
|
due
|
telu
|
empat
|
lime
|
enem
|
pitu’
|
balu’
|
siwa’
|
sepulu
|
Jawa Kuna
|
sa
|
rwa
|
telu
|
pat
|
lima
|
nem
|
pitu
|
wwalu
|
sanga
|
sapuluh
|
|
siji
|
loro
|
telu
|
papat
|
lima
|
nem
|
pitu
|
wolu
|
sanga
|
sepuluh
|
|
hiji
|
dua
|
tilu
|
opat
|
lima
|
genep
|
tujuh
|
dalapan
|
salapan
|
sapuluh
|
|
settong
|
dhua
|
tello’
|
empa’
|
léma’
|
ennem
|
pétto’
|
ballu’
|
sanga’
|
sapolo
|
|
satu
|
dua
|
tiga
|
empat
|
lima
|
enam
|
tujuh
|
delapan
|
sembilan
|
sepuluh
|
|
ciék
|
duo
|
tigo
|
ampék
|
limo
|
anam
|
tujuah
|
salapan
|
sambilan
|
sapuluah
|
|
tahi
|
rua
|
toru
|
ha
|
rima
|
ono
|
hitu
|
va’u
|
iva
|
‘ahuru
|
|
`ekahi
|
`elua
|
`ekolu
|
`eha:
|
`elima
|
`eono
|
`ehiku
|
`ewalu
|
`eiwa
|
`umi
|
|
issah
|
duah
|
talluh
|
mpat
|
limah
|
nnom
|
pitu’
|
Walu’
|
siam
|
sangpu’
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agak
sulit untuk mendefinisikan struktur kekeluargaan dari bahasa-bahasa Austronesia
karena rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa-bahasa yang sangat mirip
dan berhubungan erat. Selain itu, jumlah bahasa yang termasuk dalam dalam
rumpun Austronesia demikian besar sehingga proses pengklasifikasiannyapun
demikian rumit. Dyen (dalam Pordjosoedarmo) memperkirakan bahwa jumlah anggota
bahasa Austronesia adalah 1/8 dari jumlah bahasa yang ada di dunia
Ada
beberapa perdebatan di atara linguis dalam membagi bahasa Austronesia
berdasarkan sub-sub yang lebih kecil. Pandangan kuno yang menggunakan
pendekatan geografis membagi bahasa Austronesia ke dalam empat bagian yang
lebih kecil yang disebut subrumpun yaitu Polinesia, Mikronesia, Melanesia, dan
Indonesia (Anceaux, 1981). Teori ini kemudian dibantah oleh beberapa linguis
yang membertimbangkan kondisi bahasa-bahasa Mikronesia yang telah mati sehingga
pembagiannyapun tidak empat tetapi dua yaitu Polinesia dan Melanesia
saja. Schmidt, Kern, (dalam Anceaux, 1981) adalah pendukung teori
ini. Pembagian inipun mendapatkan bantahan dari teori linguis lain seperti
teori yang diajukan oleh Dempwolf (dalam Poedjosoedarmo) dan Dyen (dalam
Anceaux, 1981) yang memasukkan bahasa-bahasa yang ada di Nusantara seperti
bahasa Maluku, Irian Jaya, Batak-Toba, Jawa, dan Melayu ke dalam subrumpun
ketiga yaitu Indonesia. Dengan lebih detail Dempwolf (ibid) membagi bahasa
Austronesia ke dalam tiga subrumpun dengan memasukkan bahasa-bahasa yang
menjadi anggota dari subrumpun tersebut sebagai berikut: (1) Indonesia dengan
anggotanya yaitu Tagalog, Batak-Toba, Jawa, Melayu, dan Dayak-Ngaju (2)
Melanesia dengan anggota Hova (Malagasy), Fiji, dan San’an, dan (3) Polynesia
dengan anggota Tonga, Futuna dan Samoa.
Linguis-linguis
Indonesiapun tidak mau kalah dengan linguis luar negeri dalam menyumbangkan
pemikiran mereka untuk mengkategorikan rumpun bahasa Austonesia ke dalam
sub-sub yang lebih kecil seperti yang dilakukan oleh Parera (1991). Parera
membagi Rumpun bahasa Austronesia ke dalam dua subrumpun yaitu subrumpun
Austronesia Barat dan subrumpun Austronesia Timur. Secara detail pembagian
subrumpun dan anggota subrumpun terlihat sebagai berikut:
(a) Subrumpun
Austronesia Barat
- Kelompok Malagasi
- Kelompok Austronesia Barat Laut dengan anggota: (1)
subkelompok Formosa, (2) subkelompok Filipina, (3) subkelompok Chamoro,
(4) subkelompok Palau, (5) subkelomok Sangihe-Talaud, dan (6)
subkelompok Minahasa.
- Kelompok Austronesia Barat Daya dengan anggota: (1)
subkelompok Sumatra, (2) subkelompok Jawa (suku Madura, suku Jawa) (3)
suku Borneo, (4) suku Bali-Sasak, (5) suku Gorontalo, (6) suku Tomini, (7)
suku Toraja, (8) suku Loinang, (8) suku Banggai, (9) suku Bungku-Mori,
(10) suku Sulawesi Selatan, (11) suku Muna-Butung, dan (12) suku
Bima-Sumba
(b) Subrumpun
Austronesia Timur
- Kelompok Ambon-Timur dengan anggota: (1) suku
Sikka-Solor, (2) suku Kedang- Alor-Pantar, (3) suku Timor Timur, (4)
suku Vaikenu, (5) suku Timor Barat, (6) suku Kupang, (8) suku Seram Timur,
(9) suku Seram Barat, dan (10) suku Banda
- Kelompok Sula-Bacan dengan anggota: (1) suku Taliabu,
(2) suku Sanana, dan (3) suku acan-Obi
- Kelompok Halmahera Seratan-Irian Barat
Dari pembagian yang dilakukan oleh
Parera ini, kita dapat melihat bahwa bahasa Madura merupakan salah satu anggota
dari bahasa Austronesia yang bernaung dalam subkelompuk Austronesia Barat Daya.
Subkelompok ini merupakan salah satu anggota dari subrumpun Austronesia Barat
Di kutip dari: http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com